DKI Jakarta yang menyandang status kota Metropolitan sekaligus arus utama ekonomi Indonesia memikat hati masyarakat daerah untuk “mengadu” nasib di Ibu Kota.
Sayangnya DKI Jakarta adalah kota yang saat ini termasuk ke golongan kota yang tidak layak huni di Indonesia.
Lebaran 2023 diperkirakan akan jadi momentum bagi para pendatang baru yang mencoba peruntungan nasib di Jakarta.
Kepala Disdukcapil DKI Jakarta Budi Awaluddin mengungkapkan mudik Lebaran 2023 berpotensi ada penambahan jumlah warga yang datang.
Budi mencatat ada tren peningkatan jumlah pendatang di DKI Jakarta setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Pada 2020 ada 113.814 orang, pada 2021 sebanyak 139.740 orang, dan 2022 ada terdapat 151.752 orang datang ke Jakarta.
Harapannya, untuk memperbaiki kesejahteraan dan ekonomi. Namun bak padi ditanam tumbuh ilalang, nyatanya Jakarta tidak layak huni.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), DKI Jakarta termasuk provinsi dengan persentase rumah tangga yang menempati layak huni kurang dari 50%.
Tepatnya hanya 36,23% pada 2022, berada di posisi terendah nomor dua di Indonesia. Ini berarti sekitar 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia tinggal di rumah tidak layak huni.
Ini berarti banyak warga yang tinggal di Jakarta tidak memiliki rumah yang sebenarnya tidak layak huni.
BPS mendefinisikan tempat tinggal layak huni berdasarkan empat kriteria, yaitu:
1. Ketahanan bangunan (durable housing) yaitu bahan bangunan atap, dinding, dan lantai rumah memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Bahan bangunan atap rumah terluas adalah beton, genteng, kayu/sirap, dan seng.
b. Bahan bangunan dinding rumah terluas adalah tembok, plesteran anyaman bambu/kawat, kayu/papan, dan batang kayu.
c. Bahan bangunan lantai rumah terluas adalah marmer/granit, keramik, parket/vinil/karpet, ubin/tegel/teraso, kayu/papan, dan semen/bata merah.
2. Kecukupan luas tempat tinggal (sufficient living space) yaitu luas lantai per kapita minimal 7,2 m2 .
3. Memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak.
4. Memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak.
Tak hanya itu, lebih dari 10% rumah tangga di Jakarta tinggal di rumah kumuh, tepatnya sebesar 18,82% pad 2022 dan menjadi tertinggi nomor tiga di Indonesia.
Menurut data BPS. jumlah rumah tangga di DKI Jakarta pada 2021 sebesar 2,77 juta. Dengan rata-rata pertumbuhan rumah tangga selama sembilan tahun adalah 8,3% didapatkan proyeksi rumah tangga di DKI Jakarta pada 2022 adalah 3 juta rumah tangga.
Maka dari itu jumlah rumah tangga di DKI Jakarta yang menempati rumah layak huni hanya 1,09 juta dan sisanya nyaris 2 juta rumah tangga tinggal di rumah tidak layak huni. Di mana sebanyak 564,73 ribu rumah tangga tinggal di rumah kumuh.
Fenomena ini terjadi karena keterbatasan lahan di Jakarta, tapi di sisi lain tetap ada penambahan penduduk. Ini juga yang membuat Jakarta menjadi kota terpadat di Indonesia dan ke-28 dunia, menurut World Population Review.
Jumlah penduduk DKI Jakarta pada 2021 mencapai 10,61 juta jiwa dibandingkan luas wilayahnya 664,01 km persegi, menurut BPS. Ini berarti kepadatan penduduk DKI Jakarta 15.978 jiwa/km persegi atau tiap 1 km persegi dihuni oleh hampir 16 ribu jiwa.
Memang mencari nafkah di Ibu Kota menggiurkan, tapi untuk memiliki hunian di DKI Jakarta lebih baik pikir beribu kali terlebih dahulu. Karena kualitas tempat tinggal yang layak huni semakin sedikit.
Lagipula jika tinggal di hunian tidak layak akan meningkatkan risiko penyakit dan membuat biaya hidup makin mahal.