Program Mobil Listrik Amerika Terancam “Mati DIni” Karena Ini

Mobil Tesla dimuat ke operator di pabrik mobil listrik Tesla di Fremont, California. (AP/Ben Margot)

  • Hampir separuh orang Amerika tidak akan membeli kendaraan listrik sebagai mobil berikutnya.
  • Hanya 19% responden jajak pendapat mengatakan mungkin mereka akan membeli EV sebagai mobil berikutnya.
  • Kurangnya opsi pengisian daya dan tingginya biaya membuat mobil listrik bukan pilihan

Hampir separuh orang Amerika dalam jajak pendapat terbaru mengatakan kecil kemungkinannya mereka akan membeli kendaraan listrik sebagai mobil mereka berikutnya.

Alasan mereka sebagian besar mengarah kepada kurangnya opsi pengisian daya dan tingginya biaya sebagai hambatan utama untuk beralih ke listrik.

Jajak pendapat oleh Institut Kebijakan Energi di Universitas Chicago dan Pusat Riset Urusan Publik Associated Press-NORC menemukan bahwa ada 47% orang dewasa di AS mengatakan kecil kemungkinannya mereka akan membeli EV sebagai mobil berikutnya.

Hanya 19% responden yang mengatakan “sangat” atau “sangat” mungkin mereka akan membeli EV.

Hampir 80% masyarakat menyebutkan kurangnya infrastruktur pengisian daya sebagai alasan utama untuk tidak membeli EV.

Kekhawatiran yang konsisten di antara penduduk kota, pinggiran kota, dan pedesaan, menurut jajak pendapat tersebut.

“Meskipun ada banyak minat untuk membeli kendaraan listrik, biaya di muka yang tinggi untuk memilikinya dan kekhawatiran tentang infrastruktur pengisian daya negara menjadi hambatan bagi lebih banyak orang yang mengendarainya,” kata Jennifer Benz, wakil direktur AP-NORC Center dalam sebuah pernyataan yang dikutip CNBC International.

“Kebijakan yang meredakan kekhawatiran ini akan menjadi komponen kunci dalam membangun dukungan untuk masa depan EV” tambahnya.

Untuk diketahui jajak pendapat, yang dilakukan dari 31 Januari hingga 15 Februari, mewawancarai 5.408 orang dewasa di seluruh negeri.

Jajak pendapat memiliki margin kesalahan pengambilan sampel plus minus 1,7 poin persentase.

Temuan tersebut muncul saat pemerintahan Biden mendorong untuk secara agresif meningkatkan penjualan EV dan mentransisikan negara tersebut ke energi bersih.

Gedung Putih telah menetapkan tujuan bahwa hingga setengah dari semua penjualan kendaraan baru akan menjadi listrik pada tahun 2030 untuk memangkas emisi dan memitigasi perubahan iklim.

Pemerintah AS pada bulan Februari mengatakan ingin melihat setidaknya 500.000 pengisi daya kendaraan listrik di jalan negara pada akhir dekade ini .

Mereka juga meluncurkan serangkaian inisiatif termasuk komitmen dari perusahaan yang membangun dan mengoperasikan jaringan pengisian daya, seperti Tesla, General Motors, Ford dan ChargePoint.

Hasilnya juga datang karena Badan Perlindungan Lingkungan diperkirakan akan mengumumkan batas signifikan pada emisi knalpot yang dapat membutuhkan sebanyak 67% kendaraan baru yang dijual di AS pada tahun 2032 untuk sepenuhnya bertenaga listrik.

Batasan seperti itu akan menjadi peraturan iklim paling agresif di negara itu dan akan menimbulkan tantangan bagi pembuat mobil.

Tetapi kebijakan yang dirancang untuk meningkatkan jumlah EV di jalan raya mungkin kurang populer di seluruh negeri.

Jajak pendapat juga menemukan bahwa hanya 35% orang Amerika yang mendukung penetapan aturan emisi mobil yang lebih ketat untuk mendorong pembuat mobil meningkatkan penjualan EV.

Hanya 27% mendukung yang mengharuskan semua penjualan mobil baru menjadi kendaraan listrik atau hibrida pada tahun 2035.

Untuk membantu biaya pembelian dan kepemilikan EV, 49% orang Amerika mendukung pemerintah federal dengan memberikan kredit pajak, rabat tunai, atau insentif keuangan lainnya untuk energi bersih.

Undang-Undang Pengurangan Inflasi, misalnya, telah menetapkan standar manufaktur untuk EV baru agar dapat memenuhi syarat untuk kredit pajak US$ 7.500. Sementara ada 46% lainnya mendukung peningkatan pendanaan federal untuk infrastruktur EV, seperti stasiun pengisian daya.

Beberapa orang Amerika akan memilih EV karena perubahan iklim, dengan 35% mengatakan bahwa membatasi jejak karbon pribadi mereka adalah alasan utama dan 31% mengatakan itu alasan kecil.

Survei tersebut juga menemukan bahwa sekitar separuh orang Amerika berpendapat bahwa kebijakan iklim itu penting, meskipun pandangan ini sebagian besar bersifat partisan.

Meskipun kalau kita lihat data EV-Volumes,penjualan mobil listrik global terus meningkat tiap tahun. Pada 2022, volume penjualannya bahkan sudah menembus 10 juta unit, rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Dari seluruh mobil listrik yang terjual di pasar global pada 2022, sekitar 73% merupakan mobil tipe battery electric vehicle(BEV), sedangkan 27% sisanya tipe plug-in hybrid vehicle (PHEV).

Pada 2022 Tiongkok menjadi pasar mobil listrik terbesar, dengan pangsa 59% dari total volume penjualan BEV dan PHEV global.

Tak hanya pasar, Tiongkok juga menjadi negara produsen utama. Sekitar 6,7 juta unit atau 64% dari total mobil listrik yang terjual pada 2022 diproduksi di Tiongkok.

Bagaimana Dengan Indonesia?

Kendaraan listrik alias electric vecicle/EV tengah diusahakan melampaui target pemerintah dalam mewujudkan transisi energi di Tanah Air. Beberapa waktu terakhir kendaraan berbasis EV bisa dibilang menjadi primadona masyarakat Indonesia.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatatkan ada 2 jenis mobil listrik yang kini beredar di pasaran Tanah Air yaitu battery electric vehicle (BEV) dan hybrid electric vehicle (HEV).

Sebagai informasi, mobil listrik jenis BEV ini sepenuhnya menggunakan energi baterai di mana dayanya bisa diisi ulang menggunakan jaringan listrik rumah atau melalui Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU).

Sementara, untuk mobil listrik tipe HEV atau lebih dikenal dengan mobil hybrid memiliki 2 jenis mesin penggerak yakni mesin konvensional yang menggunakan bahan bakar bensin ditambah dengan mesin berbasis baterai listrik.

Berdasarkan data Gaikindo, penjualan mobil listrik baik jenis BEV maupun HEV mengalami peningkatan signifikan pada 2022.

Berdasarkan data di atas, terlihat pada 2018 sama sekali belum ada penjualan wholesale mobil listrik di Indonesia, baik tipe BEV maupun HEV.

Namun, pada  2019 mobil hybrid atau HEV sudah masuk ke Tanah Air dan berhasil mencetak penjualan sebanyak 787 unit. Namun BEV masih 0.

Wajar saja, pada tahun 2019 masyarakat belum terlalu mengenal apa itu mobil listrik, masyarakat juga belum memiliki banyak pilihan dengan harga yang pas. Di Tahun 2019 juga pemerintah belum seaktif seperti sekarang ini mendukung transisi energi.

Berdasarkan data tersebut, mobil listrik jenis BEV baru memiliki catatan penjualan wholesale di dalam negeri mulai 2020.

Namun, selama periode pandemi 2020-2021 pada kenyataannya mobil hybrid jauh lebih dominan.

Kemudian titik balik terlihat pada 2022, di mana penjualan wholesale mobil listrik BEV naik sekitar1.400%(yoy) hingga mencapai 10.327 unit. Capaian tersebut jauh di atas mobil hybrid di mana angka wholesale-nya 5.100 unit, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 106% (yoy) pada 2022.

Jika mengikuti tren minat untuk mobil listrik ini di Indonesia cukup menggeliat. Namun, Masalahnya, stasiun pengisian baterai listrik alias infrastrukturnya masih begitu terbatas. Melansir dari laporan Institute for Essential Sevices Reform (IESR) melaporkan hal yang sama bahwa Adopsi EV terhambat oleh kurangnya infrastruktur.

IESR melaporkan, adopsi EV memang mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, meski mengalami pertumbuhan yang begitu besar di tahun 2022, tingkat adopsi EV masih jauh dari target NDC Indonesia.

Infrastruktur pengisian daya yang tidak memadai, biaya di muka yang tinggi, dan kemampuan mengemudi, persepsi konsumen dan kurangnya pemahaman tentang EV menjadi persoalan yang mesti diperhatikan pemerintah selain mendorong banyaknya penggunanya.

Ketersediaan infrastruktur pengisian daya memainkan peran penting dalam adopsi EV mengurangi kecemasan jangkauan konsumen karena sebagian besar EV memiliki jarak mengemudi atau berkendara yang lebih rendah dibandingkan ke ICEV.

IESR juga menguak bahwa jarak berkendara adalah hambatan utama untuk adopsi EV. Selain itu, durasi pengisian daya yang lama, rendah kinerja, dan jangkauan perjalanan EV yang terbatas juga dianggap sebagai penghalang

Berdasarkan laporan Institute for Essential Services Reform (IESR), ada 71,2% responden menganggap kesulitan terbesar karena sulitnya mencari stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU).

Kemudian, ada pula 62% responden merasa adopsi kendaraan listrik di Indonesia cukup sulit karena harganya yang mahal. Terbatasnya jangkauan turut berkontribusi sebagai penghambat adopsi EV menurut 52% responden. Berikut rincian lengkapnya.

Jika kita berkaca pada Norwegia, sebagai salah satu negara yang paling berhasil mengembangkan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai, peran infrastruktur tempat pengisian baterai ternyata cukup besar dalam memromosikan penggunaan kendaraan listrik pada masyarakat.

Riset yang menganalisis kemajuan mobil listrik pada periode 2009-2019 di Norwegia menunjukkan penempatan pos pengisian baterai listrik di suatu daerah mampu mendorong tingkat kepemilikan kendaraan listrik hingga lebih dari 200%.

Pertumbuhan ini tercapai dalam kurun waktu 5 tahun setelah pemasangan unit pengisian baterai listrik.

Bahkan meski fasilitas pengisian baterai di rumah (home charging) sudah tersedia, keberadaan tempat pengisian baterai tetap dianggap sebagai stimulus peningkatan penggunaan kendaraan listrik.

Maka dari itu, jika Indonesia mau memperbanyak mobil listrik, maka stasiun pengisian baterai listrik harus diperbanyak. Penggunanya juga harus mendapatkan insentif yang menarik.

Melihat data di atas, maka percepatan penyediaan stasiun pengisian baterai listrik juga perlu dilakukan dengan meningkatkan produksi dalam negeri.

Lembaga Inpeksi Teknik Kementerian ESDM yang mengawasi kelayakan operasional SPKLU juga harus aktif dan diandalkan.

Tanpa adanya pengawas maka layanan yang diberikan kepada pengguna kendaraan listrik dapat “dipermainkan”. Misal tidak ada perbaikan segera untuk unit yang rusak atau daya yang diberikan tidak sesuai spesifikasi.

Sebagai contoh, setiap SPBU Pertamina diawasi oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat. Harapannya, kewenangan Kementerian ESDM ini juga pun bisa dikolaborasikan dengan pihak lain khususnya pemerintah daerah.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*