Tanda-tanda bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, akan berbalik dovish soal kebijakan suku bunga membawa secercah optimisme di Wall Street. Apakah itu akan menular ke pasar saham RI?
Secara historis, pasar saham Wall Street cenderung reli seiring The Fed berhenti mengerek suku bunga acuan. Menurut analis Goldman Sachs, yang dikutip Wall Street Journal, Minggu (16/4), indeks S&P 500 secara rerata menguat 19% selama 12 bulan setelah suku bunga fed fund rate (FFR) memuncak.
Namun, sebagian analis, termasuk, Goldman, skeptis hal tersebut akan terjadi kali ini. Sebagaimana menjadi pemahaman pasar, banyak pihak di Wall Street percaya The Fed mungkin akan berhenti mengerek suku bunga pada tahun ini.
Goldman merujuk ke sejumlah faktor yang membuat pihaknya ragu soal reli pasca-siklus kerek bunga The Fed berhenti. Salah satunya soal pertumbuhan laba yang diproyeksi tertekan kali ini.
Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam indeks S&P 500 diramal akan mengalami penurunan laba di kuartal I 2023, menjadi koreksi terbesar usai kuartal II 2020 lalu.
Selain soal laba, valuasi saham AS juga tergolong mahal dibandingkan historis. S&P 500 saat ini diperdagangkan 18 kali dari proyeksi laba 12 bulan ke depan (forward P/E). Goldman bilang, angka itu berada di peringkat persentil ke-81 untuk valuasi selama 40 tahun terakhir.
“Ada kelegaan besar di pasar saham saat ini,” kata Brad Conger, wakil kepala investasi di Hirtle Callaghan & Co. “Menurut saya itu adalah kesalahan,” imbuhnya.
Conger mengatakan perusahaannya berfokus pada investasi di perusahaan-perusahaan di industri seperti perawatan kesehatan, sofware dan pemrosesan pembayaran yang terlihat akan dapat terus meningkatkan keuntungan mereka, bahkan jika ekonomi AS mendingin secara signifikan akhir tahun ini.
“Sulit untuk melihat resesi yang tidak berdampak pada laba perusahaan pada tingkat yang lebih besar,” katanya.
Sejauh ini, pasar tampaknya mengabaikan kemungkinan penurunan. Indeks S&P 500 telah naik 7,8% untuk tahun ini, sedangkan Dow Jones Industrial Average naik 2,2% dan Nasdaq Composite naik 16%.
Minggu mendatang, investor akan melihat laporan laba dari perusahaan termasuk Bank of America Corp., Netflix Inc., dan United Airlines Holdings Inc., serta data baru tentang penjualan rumah dan aktivitas manufaktur AS teranyar.
Bisa dibilang, optimisme investor saat ini terutama seiring kuatnya pasar tenaga kerja AS. Alih-alih terkena dampak aksi galak The Fed, pertumbuhan pekerjaan tetap kokoh. Perusahaan menambahkan 236 ribu pekerja pada Maret, masih berada di atas level prapandemi kendati merupakan kenaikan terkecil dalam 2 tahun belakangan.
“Kita berada dalam periode tenang sekarang karena jelas belum ada tanda-tanda resesi,” kata Jeff Schulze, direktur dan ahli strategi investasi di ClearBridge Investments, kepada WSJ.
Hanya saja, pejabat The Fed masih melihat inflasi yang meninggi, di atas target bank sentral tersebut (2%).
“Inflasi masih sangat tinggi dan karenanya pekerjaan saya belum selesai,” kata Gubernur The Fed Christopher Waller pada pidato Jumat pekan lalu.
The Fed, kata Waller, masih perlu melanjutkan pengetatan kebijakan moneter. Inflasi yang masih belum sepenuhnya terkendali, kendati sudah mulai mendingin, berpotensi membebani kinerja laba perusahaan AS pada kuartal ke depan, terutama jika konsumen menahan konsumsi di tengah kenaikan harga barang dan jasa.
“Saya pikir investor sering membuat kesalahan dengan mencoba menganalisis dan memprediksi siklus pasar secara berlebihan… saat dimulai, saat berakhir,” kata Darrell Cronk, presiden Wells Fargo Investment Institute.
Bagaimana dengan RI?
Sejauh ini, pasar saham RI masih lesu gairah seiring investor masih bersikap wait and see terhadap perkembangan kebijakan moneter AS. Volatilitas dan sepinya nilai transaksi menjadi tanda investor masih ragu-ragu terhadap bursa saham domestik.
Sejauh ini, outlook ekonomi sejatinya masih positif, di kisaran 4,5-5,3% pada 2023. Sepanjang 2023, IHSG diproyeksikan akan mencatatkan rekor level tertinggi sepanjang masa (all time high/ATH) baru pada Agustus-September, memecahkan rekor pada 2022.
Informasi saja, IHSG menembus ATH pada 13 September 2022 di level 7.318. Namun, IHSG juga kemungkinan masih akan volatil dan berpotensi terkoreksi pada Oktober-November mendatang, sebelum akhirnya rebound tipis pada Desember di masa window dressing.
Sektor perbankan yang menjadi backbone ekonomi RI dan IHSG tetap menjanjikan pada tahun ini. Bank Indonesia (BI) sendiri memprediksi, pertumbuhan kredit untuk 2023 di kisaran 10-12 secara tahunan (YoY). Raksasa bank Tanah Air juga pede dengan proyeksi peningkatan kredit di kisaran 10,5-10,9% secra tahunan. Sedangkan, laba perbankan diprediksi akan meningkat 12-17% selama 2023.
Catatan saja, selama The Fed masih belum benar-benar serius soal menghentikan suku bunga, dan kondisi makro masih gloomy, investor tetap harus mengalokasikan cash lebih besar-demi berjaga-jaga dari situasi sulit.