Sama seperti di Indonesia, kedatangan Islam di Vietnam juga, salah satunya, berkat perdagangan. Datangnya para pedagang dari jazirah Arab ke Vietnam (dulu disebut Kerajaan Champa) bukan hanya untuk berdagang, tetapi juga menyebarkan agama.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa Islam masuk ke Champa pada abad ke-9. Sejak itu Islam mulai diterima oleh masyarakat dan petinggi kerajaan. Namun, ada pembeda yang unik antara Islam di Tanah Air dan Vietnam.
Merujuk riset “The Influence of Hinduism Toward Islam Bani” (2018), Islam di Vietnam kini terbagi dua. Pertama, komunitas Muslim yang berkembang di kota-kota besar. Komunitas ini berpegang teguh pada Alquran dan Hadis.
Kedua, komunitas Muslim Cham, yang sangat unik, juga kontroversial. Keunikannya terletak karena mereka hidup dan menjalani laku sebagai umat Muslim tidak berlandaskan Alquran, Hadis, dan rukun iman Islam. Alias, mereka yang tinggal di Phan Rang dan Phang Ri ini hidup berdasarkan adat dan istiadat yang terjadi di lingkungannya.
Penyebab dari hal ini karena mereka terpengaruh ajaran Hindu dan Budha. Jadi, sebelum Islam datang penduduk di dua wilayah itu mayoritas beragama Hindu atau Budha. Ini disebabkan karena sejak abad ke- 8 dan 9, Kerajaan Champa bercorak Hindu.
Barulah saat Islam datang terjadi pergeseran corak. Namun, dalam riset Jay Willoughby berjudul “The Cham Muslims of Vietnam”, diketahui saat Islam datang dan terjadi proses Islamisasi, ajaran yang disampaikan tidak utuh.
Hal ini disebabkan karena ada pertempuran di kalangan pejabat Kerajaan Champa. Jadi, saat pertempuran terjadi proses penyebaran dakwah Islam di kalangan masyarakat Champa terputus, sehingga membuat ajaran Islam yang sampai ke penduduk menjadi tidak utuh.
Terputusnya ajaran ini makin parah usai Champa terisolasi politik yang membuat mereka, khususnya Muslim di wilayah Phan Rang dan Phang Ri, tertinggal oleh proses dan perkembangan Islamisasi dunia Melayu.
Alhasil, mereka melahirkan tradisi ‘Islam’ unik,dan kontroversial. Berikut beberapa di antaranya:
Mengutip riset Ba Trung berjudul “Bani Islam Cham in Vietnam” (2008), mereka tidak diwajibkan menjalankan ibadah puasa layaknya umat Muslim di seluruh dunia saat bulan Ramadan.
Mereka berpandangan kalau Ramadan atau mereka menyebutnya “Ramuwan” bukanlah bulan puasa, melainkan hanyalah bulan pelatihan bagi pemuka agama baru, persiapan kematian, dan penyucian.
Selama bulan Ramadan, keluarga dari penganut Islam Cham mengantarkan persembahan berupa nampan berisi makanan kepada pemuka agama yang datang ke Masjid. Tujuannya adalah untuk menunjukkan ketulusan mereka kepada Allah.
Saat berada di Masjid, para pemuka agama ini melakukan semacam meditasi. Mereka tidak berbicara, makan, dan minum selama tiga hari. Jika sudah lewat periode ini, maka mereka akan melakukan kegiatan dakwah di dalam masjid selama 15 hari di bulan Ramadan. Ya, bulan Ramadan versi mereka bukan 30 hari, tetapi 15 hari.
Selain bulan Ramadan, ada perbedaan mencolok lain antara umat Islam Cham dengan umat Muslim pada umumnya, yakni ibadah salat. Sebagai kewajiban dalam laku ke-Islaman, Islam Cham tidak melakukan salat.
Masih merujuk riset “The Influence of Hinduism Toward Islam Bani” (2018), pengikut Islam Cham tidak salat lima waktu, melainkan hanya mendirikan salat Jumat. Mereka berpandangan kalau kewajiban melaksanakan salat bisa diwakilkan melalui perwakilan yang disebut Acar.
Acar inilah yang kemudian “menitipkan” salat dari keluarganya agar kehidupan di dunia dan akhirat berlangsung baik.
Memang bagi pandangan Islam global, tradisi ini dipandang menyalahi aturan. Dari sinilah terjadi proses pembaharuan dan konversi keagamaan dalam masyarakat agar mereka kembali ke ajaran Hadis dan Al-Qurab.